International School?


Menjadi “international school” seperti sebuah trend, kalau tidak dikatakan sebagai sebuah impian. Dari mulai sekedar menggunakan Bahasa Inggris di awal pelajaran sampai dengan pengklasifikasian kelas-kelas menjadi kelas internasional, kelas bilingual dan kelas umum, sepertinya memberikan legalitas untuk mendeklarasikan diri sebagai sekolah internasional atau kelas internasional.

Upaya untuk go international ini memberikan beban tersendiri kepada guru-guru yang harus mengajar “kelas internasional”. Bentuk yang paling sederhana dari upaya  ini dimulai dari kursus berbicara, kursus menulis kepada teman seperjuangan yang pekerjaannya mengajar Bahasa Inggris. Pertanyaan-pertanyaan seperti (dalam pelajaran Matematika): “Bahasa Inggrisnya busur lingkaran apa? Bagaimana cara menuliskannya?” atau “Bagaimana cara mengucapkan dan meng-Inggriskan: rumus selimut kerucut adalah satu pertiga pi er kuadrat te harus dihafal satu persatu.

Bentuk lain adalah dengan mengundang guru yang lancar berbahasa Inggris untuk mendampingi guru Matematika menerjemahkan pelajaran, meskipun terjemahannya menjadi tidak baku pada beberapa bagian, karena guru penerjemah kurang memahami istilah-istilah Matematika di dalam bahasa Inggris (sampai saat ini saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan kelas bilingual?).

Mengenai pengklasifikasian kelas-kelas,  kira-kira inilah gambarannya:

Fasilitas kelas internasional, mungkin ruangan ber-AC, berkarpet, satu siswa satu laptop, proyektor stand bye di tiap kelas. Buku pelajaran 100% menggunakan teks bahasa Inggris. Gurunya? The best teachers at the school, atau kalau memungkinkan mengundang native speakers. Ini kelas serba wah!

Kelas bilingual? Mungkin buku teks nya yang menggunakan bahasa  Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia  dalam buku yang sama. Atau ada dua guru di kelas yang sama di mana satu orang berperan sebegai penerjemah. Ruangan kelasnya standar, sekolah pagi, laptop atau proyektor mungkin digunakan bergiliran.

Kelas umum? Ruangan standar, sekolah sore. Fasilitas lain mungkin sama atau bahkan kurang jika dibandingkan dengan kelas bilingual.

Murid mana saja yang bisa memasuki “kelas internasional”? Jelas, dengan melihat fasilitas seperti itu, adalah mereka yang mampu menyediakan cukup dana untuk membiayai operasional kegiatan kelas. Biasanya, untuk masyarakat umum dianggap sebagai sesuatu yang mustahil. Kalau pun ada, demi anak tercinta, mereka memaksakan diri.

Hal seperti ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya: Dari segi klasifikasi, apa yang membedakan sekolah dengan rumah sakit atau kereta api? Bagaimana dengan siswa berkemampuan tinggi tetapi tidak memiliki cukup biaya? Bisakah dia mengenyam fasilitas “kelas internasional” tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam? Pertanyaan lainnya, apakah dengan fasilitas seperti itu bisa menjamin bahwa lulusannya memiliki kemampuan mumpuni dan bisa bersaing di kancah internasional?

RSBI

RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) laksana sebuah bende kabuyutan. Gong kerajaan yang ditabuh di ibukota gaungnya menyebar sampai ke pedesaan. Begitu antusiasnya masyarakat menyambut keberadaan sekolah jenis baru ini. Sepertinya kurang afdol jika di satu sekolah tidak memiliki sesuatu yang berjudul international. Perkara proses belajar, fasilitas dan muara dari program ini tidak begitu dipikirkan untuk saat ini. Step by step?

IISY (Indonesian International School Yangon), satu-satunya sekolah Indonesia di luar negeri yang dengan PD menjuluki diri sebagai international school, juga belum merasakan kehadiran RSBI sebagai dewa penolong. Ketika sistem belum terbentuk dan referensi sangat diperlukan,  RSBI tidak memberikan inspirasi yang memadai.

Satu contoh kasus: terasa ada yang hilang di hati, ketika IISY dengan terpaksa menggunakan buku pelajaran terbitan negara Singapura yang sangat British minded, dengan O’Level (Ordinary Level, setara dengan lulusan kelas X) dan A’Level (Advance Level, setara dengan lulusan kelas XII) kebanggaan mereka (celakanya, disukai oleh masyarakat Myanmar!).  Dikatakan terpaksa karena sesungguhnya dari segi materi (terutama untuk pelajaran Matematika), pada grade yang sama dengan sistem mereka, buku-buku Indonesia lebih mendalam, tetapi sejauh ini belum bisa ditemukan buku yang 100% berkurikulum Indonesia dengan teks Bahasa Inggris standar (peluang bagi yang senang menulis buku!).

Juga ada dua hal yang masih dirasakan kurang dari buku-buku Indonesia, yaitu minimnya penggunaan sarana IT (kalkulator grafis dan software komputer, misalnya Geometer Sketchpad) serta kurangnya bobot CTL (Contextual Teaching and Learning). Berbeda dengan buku-buku mereka yang begitu up to date serta ‘membumi’, hadir dalam persoalan praktis sehari-hari.

Dengan segala keterbatasan ini, IISY menjalankan proses belajar mengajar berbasiskan kurikulum Indonesia yang telah dimodifikasi. Ujung-ujungnya? Harus berhadapan juga dengan UN (Ujian Nasional),  sementara masyarakat Myanmar tidak mengenal UN. Pertanyaan mereka selalu sama: Apakah sertifikat dari sekolah Indonesia diakui di negara lain?   Apakah anak-anak mereka bisa menjawab soal-soal ujian O’Level dan A’Level? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekolah mengeluarkan kebijakan: dua kepentingan ini harus bisa dilayani sekaligus. Tidak bisa tidak!

Sertifikat Internasional

Untuk mewakili berbagai lembaga sertifikasi di bidang pendidikan sekolah menengah, maka O’ Level dan A’ Level mewakili daratan Eropa dan SAT (Scholastic Assessment Test) mewakili daratan Amerika, dengan karakteristik masing-masing yang khas, pantas disebut sebagai dua jenis tes yang keberadaan dan standarnya diakui di seluruh dunia.

Baik Cambridge University di Inggris selaku pengelola O’ Level dan A’ Level melalui centercenter mereka yang tersebar di seluruh dunia (termasuk di Yangon), maupun College board di Amerika Serikat selaku pengelola SAT, keduanya memiliki kesamaan, yaitu konsistensi. Bentuk soal, silabus, standar penilaian dan prosedur pelaksanaan serta pengamanan hampir tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun ke tahun. Pencitraan yang serba mapan ini menumbuhkan kepercayaan masyarakat dunia.

Pilihan sangat jelas, jika seorang siswa memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah di Singapura atau Eropa, maka mereka akan mengambil ujian O’ Level atau bahkan A’ Level. Jika seorang siswa memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah di Amerika Serikat, maka mereka akan mengambil ujian SAT untuk bisa diterima di college (lembaga pendidikan pra universitas) sebelum memasuki universitas pilihan.

Di mana posisi ijazah kelas XII kita (untuk yang lulus UN) di antara kedua sertifikat internasional tersebut? Bisa diterima, melalui tahapan tes masuk plus keharusan menghilangkan hambatan kurang mampu berbahasa Inggris.

Kapan ijazah kelas XII kita diburu orang seluruh dunia? Masih lama. Nanti, ketika RSBI sudah tanggal R dan B-nya. Optimis, kelak di luar negeri juga berkibar-kibar bendera Merah Putih di setiap bangunan IISS (Indonesian International School Somewhere).

Usulan

Untuk meningkatkan daya saing lulusan sekolah kita, tidak perlu diberi judul “international” (bukan lantaran kata ini mengesankan lebih hebat dari pada kata nasional), juga  tidak perlu pengklasifikasian berdasarkan strata sosial, dengan berat hati saya nyatakan: English is a must. Ya, anggaplah dia seperti properti yang memang seharusnya melekat pada anak-anak Indonesia jaman sekarang. Statusnya sama seperti handphone, iPod, PSP, MP4 dll.

Saya tidak paham dengan masalah bahasa Inggris, baik dari segi isi maupun pendekatan. Begitu pula dengan perubahan trend pendekatan berbasis grammar menjadi pendekatan berbasis teks. Tetapi, besar harapan ada pakar atau tim yang menciptakan satu kurikulum sehingga kemampuan berbahasa Inggris para siswa dan guru berkembang pesat. Pada akhirnya, penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar mata pelajaran lain tidak akan menjadi beban tambahan bagi siswa dan guru.

Jadi, kelak tidak akan ada pertanyaan “Kamu bisa berbahasa Inggris  tidak?”,  “Kamu bisa komputer tidak?”, karena itu sudah menjadi properti pribadi. Lekat dengan keseharian anak-anak Indonesia jaman sekarang. Kelak tidak akan ada komentar “Lah, sekolah di tengah sawah gini pake Inggris-Inggrisan segala. Makan masih nasi koq, belum roti.” atau ungkapan “Bagaimana bisa ngerti Matematika, orang bahasa Inggrisnya juga gak ngerti?”

Lalu, rasa nasionalismenya digadaikan ke mana? Untuk yang satu ini percayalah, tidak akan ada hal buruk menimpa gara-gara berbahasa Inggris, karena kita cinta Indonesia 100%. Mereka yang menjadi kiblat peradaban dunia sekarang, para pendahulunya adalah pekerja keras. Buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Arab mereka terjemahkan sehingga sari pengetahuan bisa dipahami, dikembangkan dan disebarluaskan. Sampai saat ini nyatanya mereka tidak menjadi bangsa Arab. Mereka tetap menggunakan bahasa aslinya dan sekarang bangga menjadi kiblat peradaban dunia.

Mimpinya, satu saat nanti orang-orang di dunia akan sangat berkepentingan untuk bisa berbahasa Indonesia, karena negara tercinta ini telah menjadi kiblat baru peradaban dunia.

Wallahu ‘alam.

< Artikel | < ke atas

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.